Di tempatku belajar, ada seorang pendidik yang begitu
menawan. Tidak hanya perihal penampilan tapi juga pengetahuan. Beliau selalu
tampil menarik dengan fashion stylish, membawa sebuah tas jinjing ala wanita
karir beserta sebuah laptop dalam tas berwarna coklat susu. Beliau tak seperti
kebanyakan, porsi yang seimbang menurutku.
Wanita pintar itu identik sekali dengan tas ransel dengan
tumpukkan buku-buku tebal di dalamnya, wajah polos tanpa polesan make up
sedikitpun bahkan terkadang kuliah tak mandi karena semalam begadang membaca
buku, wajah kucel tak terawat. Namun beliau benar-benar mematahkan argumen itu.
“orang yang membawa buku-buku tebal,
belum tentu memahami isinya.” aku hanya mengiyakan saat itu, selepas di
maki habis-habisan karena katanya aku terlalu ambisius dalam menentukan judul
skripsiku, terlalu jauh sedang aku hanyalah peneliti pemula tak lupa beberapa
kali beliau menambahkan kata bodoh agar aku sadar.
Kembali pada pembahasan tentangnya, beliau juga mengatakan “Sama hal seperti orang yang seolah-olah
cinta dunia, belum tentu mereka masuk surga.” Itulah analoginya, menyamakan
dengan pendapatnya yang pertama. Berulang kali beliau menegaskan,
hablumminallah adalah hubungan dengan Allah, tak layak manusia mengetahuinya.
Sedang hablumminannas tentu perlu, tapi kita juga tak perlu begitu menghamba
pada seorang hamba, kita perlu jadi cermin untuk dihargai. Kau tau makna cermin
menurutnya apa, beliau berlaku sesuai orang memperlakukannya tapi dengan tidak
memulai sesuatu yang buruk dalam hablumminannas tersebut.
Di semester 6 ini, mata kuliahnya menjadi mata kuliah pilihan,
hanya ada satu kelas dan aku berada di antara mahasiswa lainnya. Bukan tanpa
alasan, meski belum terlalu memahami mata kuliah yang ku ambil bersama 2 rekan
dari kelas yang sama denganku tapi sebenarnya tujuan awalku adalah agar dapat
belajar di bawah tekanan, menjadi sebenar-benarnya mahasiswa yang sangat terasa
ketika belajar dengan beliau. Aku juga semakin merasa tak salah memilih mata
kuliah yang diampu beliau, ketika teman-teman sekelasku justru tanpa ragu tak
menceklis mata kuliah beliau di kartu rencana study. Hari pertama belajar, aku
mengurus absenku dimata kuliah ini. Mengikuti beliau hingga tiba di ruangannya,
menghidupkan wifi dan duduk nyaman dengan anggun.
Kami memulai dengan pembicaraan ringan, seputar motivasi
yang selalu beliau berikan seperti di kelas. Ia wanita tangguh, ingin sekali ku
ceritakan begitu hebatnya beliau. Tapi tentu tak bisa, aku tak memiliki cukup
keberanian tuk meminta izin mengabadikan namanya dalam sebuah buku otobiografi.
Semester 6, fase yang ringkih bagiku. Kami menentukan judul
siang yang dingin, entah berapa rendahnya suhu ac hari itu. Aku bersama 3
rekan, yang 2 di antaranya berbeda kelas denganku tak sengaja memasuki ruang
bersama hingga melakukan bimbingan bersama hingga menjadi partner, beliau
meminta kami terus berempat setiap bimbingan. Berharap kami lulus 3 tahun
bersama-sama, yang sangat aku Amiini tentunya. Tak ada mahasiswa yang ingin
kuliah lama kan? Dan artinya, banyak mahasiswa yang ingin kuliah cepat, apalagi
mendapat doa dari seorang guru yang ditakdzimi.
Tujuan beliau hanyalah, merasionalkan pikiran-pikiranku yang
dangkal hari itu. Menyemangati dan menekan diri agar aku berubah.
“Saya
paham sekali kamu suka baca buku, saya juga sama. Permasalahan orang kritis
juga selalu sama, tak ingin membuat sesuatu yang sama dengan orang lain.”
Kurang lebih begitu yang beliau sampaikan.
“Saya
tau, pasti ada gejolak dalam dirimu yang ingin membuat suatu hal yang luar
biasa. Tapi ini bukan hanya soal bagus tapi soal waktu. Skripsi yang bagus itu
yang selesai dalam waktu secepat-cepatnya.” Sambungnya, manik matanya
menatapku tajam. Menusuk sekali.
Hari itu, di antara empat temanku
yang judulnya ditolak mentah-mentah adalah aku. Katanya jika ingin melanjutkan
aku harus mendapat dana hibah dari pemerintah, beberapa belas juta. Ah, itu
hanya gurauan tentunya. Dalam arti lain beliau mengatakan bahwa ini bukan
pembuatan thesis atau penelitian, jadi turunkan kadar kesulitan judulmu.
Siang itu juga selepas menemuinya,
aku duduk seorang diri di sebuah educafe dengan rak-rak buku yang berjejer pada
tiap sudut ruang. Kita tinggal memilih ingin duduk lesehan dibawah rak-rak
tersebut atau duduk dikursi yang disebuah tempatnya disediakan terminal dan
wifi, meskipun tak membeli minum sekalipun. Tempat yang menarik bukan?
Dibangun oleh seorang dosen yang
mengajar di kampusku, mungkin tujuannya untuk mensejahterakan mahasiswa
sepertiku misalnya. Meski ada saja yang memanfaatkan tempat ini dengan kurang
bijak, dijadikan tempat pacaran dengan HAHA HIHI berdua, ada juga sekelompok
mahasiswa yang mabar. Maen games bersama dengan saling memaki antara satu dan
lainnya.
Aku belum bertemu lagi dengan
beliau, kan ku ceritakan lagi. Akan ku bawakan beliau judulku yang baru, yang
lebih rasional tentunya.
0 Response to "My Favourite Lecturer"
Post a Comment