Udara
kian membeku ketika lembaran ayat-Nya disentuh dengan kekhidmatan, laron tak
lama menjemput ajalnya di sebuah baskom berisi air setelah bermain-main dalam
surau kami yang remang, hanya setitik cahaya yang bisa mati kapan saja ketika
minyak tanah dalam botol habis terlalap api yang menerangi kami setiap petang.
Kami
duduk melingkari Pak Yai yang terkantuk-kantuk tapi masih memantau tiap bacaan
kami dengan rapi, jemarinyapun masih kuat menggenggam rotan panjang. Debaran jantung
kian terasa ketika giliranku akan tiba setelah beberapa rekanku yang membaca
terbata-bata, meski sisanya terlewat begitu saja dengan aman. Hembusan napas
yang tertahan, rasa takut, juga banyak hal yang tak dapat ku jabarkan.
Aku
menunggu detik demi detik yang tak mungkin berharap jadi menit, menanti
bagianku malam ini.
“grrkk..”
Suara rotan Pak Yai tepat berada di hadapanku, menunjuk ayat yang mesti ku
lanjutkan dari malam sebelumnya. Aku memulai membaca setiap huruf, dengan rasa
bimbang yang masih sama.
“Hmm..” Pak
kyai menghentikan bacaanku dengan menunjuk pada ayat yang ternoda oleh
kesalahanku.
“Itu bacaanya panjang
apa pendek.” Pak Yai menghentikan bacaanku lagi
dengan mata yang setengah tertutup.
“Hmm hmm.”
Mulutku seakan terkunci, tak mampu berkata-kata.
“Panjang apa pendek?”
Meski tak ada bentak atau nada tinggi malam ini, namun sulit sekali bibir ku
terbuka lagi.
“Hmm, pendek yai.”
Wajahku semakin tenggelam, aku menundukkan pandanganku. Lalu sekarang Pak Yai
yang membaca dengan merdunya, beserta penjelasan lengkap mengenai tajwid dan
hukum bacaannya. Satu ayat setiap malam, rasanya begitu berat melewatkan ayat
demi ayat ini.
Aku
pulang dengan rasa lega malam itu, hal yang menyenangkan adalah ketika mengaji
selesai. Kaki-kaki mungil lincah melangkah beriringan, aku di antara mereka
saling bergenggaman tangan. Jarak dari rumahku menuju Surau memang lumayan
jauh, butuh 15 menit untuk menempuh
perjalanan. Jalan sepetak yang hanya mampu dilewati oleh kendaraan roda dua,
berkerikil dengan pulau di tengahnya sisa hujan dan kendaraan yang menyebabkan
jalan berlubang, hanya cahaya bulan dan gemintang yang menunjukkan kami arah
pulang.
Kami
selalu mengisi jauhnya pulang dengan hal-hal kecil yang membuat tawa riang,
bercerita tanpa tema yang mesti ditentukan. Seperti tebak-tebakkan malam ini,
dari Eko temanku, yang rumahnya tepat berada di samping rumahku.
“Temen-temen, coba
tebak. Tak nampak namun jelas ada, sebab
suaranya menggema seperti motor lewat rumah kita malam-malam brrm brrm..”
Eko memberi tebak-tebakkan seraya mempraktekan gaya yang seolah sedang naik
motor.
“Motor?”
Lufi spontan menjawab.
“Seperti motor, Fii”
Eko menimpali, kami menertawakan Lufi tanpa merasa berdosa
“Yaa, Eko brrmmm
brrmm.” Katanya, ikut memperagakan apa yang Eko lakukan
“Hehehe.”
Tawa khas anak yang belum bhalig semakin bersaing dengan jangkrik yang
sedari tadi ingin didengar.
“Apa coba apa?” Eko
melanjutkan tebak-tebakknya.
“Motornya kuman?”
Aku menjawab asal, sedang 4 kawanku Eko, Lufi, Ira, dan Andi hanya menatapku
datar.
“Kuman-kuman, kamu
kumannya. Orang seperti motor, seperti” Eko menahan emosinya
lalu ikut tertawa bersama, perutku rasanya sakit sekali banyak tertawa bersama
mereka.
“Pasrahlah pasrah.”
Kami melambaikan tangan, sudah tak kuat. Sayang tak ada kamera seperti di acara
TV uji nyali. Jangankan kamera, lampu saja tak ada di desa kami.
“Apa ko jawabannya?”
Ira menarik-narik sarung eko yang melingkar di lehernya, seperti bapak-bapak
yang sedang meronda.
“Nanti aku beri tahu,
besok setelah mengaji.” Eko menjawab dengan mantap.
“Huuu.”
Eko segera lari sebelum kami mengamuk, sebab kami telah sampai pada perkampungan
yang terang sebab tawa renyah yang terdengar keluar.
**
“Malam inikan malam
jum’at, sekarang kita yasinan. Kalau ada yang ndak bisa baca yasin, baca surat
Al-ikhlas ndak apa-apa.” Pak Yai memberi arahan, sebab
banyak anak kecil yang masih baca turutan (juz amma).
Pembacaan
yasin diawali dengan doa dan hadorot, aku dan kawanku berlomba cepat-cepat
membaca yasin, siapa yang selesai lebih dulu akan mengejek yang lainnya. Setelah
lelah melakukan ejek-ejekan bersama kami memakan makanan yang kami bawa dari
tiap rumah, dibuat oleh ibu-ibu setiap malam jum’at. Belum selesai bacaan yasin
yang lain, serta papais yang terbuat dari tepung beras, santan dan garam dengan
pisang di dalamnya belum habis ku telan. Suara ketukkan pintu, ah bukan seperti
ketukan seperti hentakan, kencang sekali membuat pembacaan yasin terhenti. Pak
yai sigap bangun, beriring aku dan yang lain.
“Pak Asmir?” Pak Yai melangkah keluar dari ruang mengaji kami yang lantainya terbuat dari
semen, tak karuan seperti jalan di kampungku yang berlubang.
Kami
hendak keluar, sebelum Pak Yai menahan kami dengan isyarat tangannya yang
menghentikan langkah kami.
“Lanjutkan yasinannya.”
Sambungnya.
Yasin tetap dilanjutkan namun nada-nada tinggi Pak Asmir memang tak bisa
teralihkan, mengganggu konsentrasi kami. konsentrasi makan papaisku dan
kakak-kakak yang tadi khusyu mengaji. Suara di luar suraupun sudah semakin tidak
karuan, tangis dari Bu Yai dan amarah dari beberapa orang yang dibawa oleh Pak
Asmir.
“Kyai gadungan, mana
ada Yai yang makan uang hasil dari warga desa tuk memasang lampu.”
Pak Asmir menarik Pak Yai dengan kasar. Sedang tiba-tiba Eko berdiri di ambang
pintu.
“Bapak, bapak ndak
pantas membentak-bentak guru ngajiku. Bapak ndak berhak mengusir pak yaiku dari
sini” Eko menatap lurus ke arah Pak Yai dan Pak Asmir,
bapaknya.
“Eh. Kamu ndak tau
apa-apa anak kecil.” Pak Asmir menunjuk anaknya.
“Aku tau pak, tau. Aku
mendengar semua yang bapak bicarakan di rumah. Mengusir pak yai, sebab bapak
ingin terlihat di kampung kita.”
“Bicara apa kamu cah
semprul.” Pak Asmir semakin menggebu-gebu.
“Aku tau pak, masalah
lampu yang gak sampai kampung kita. Bukan karena pak yai yang menjabat sebagai
kepala desa tapi sebab bapak dan beberapa orang-orang yang menghalangi setiap
petugas lampu ingin masuk ke desa kita.” Eko menatap
bapaknya dan beberapa orang lainnya.
“Eh, kamu ya. Buktinya
mana?” Pak Asmir semakin naik pitam.
“Apa bapak nda kasian,
aku mengaji dengan lampu dari minyak tanah yang pak yai buat dari botol-botol
beling bekas. Mana mungkin pak yai ingin makan uang haram sedang kita mengaji
di sini, bapak tak pernahkan membayar pak yai sebab jasanya mengajariku.”
Air mata Eko tak hentinya menganak dari tegarnya yang tertahan.
“Lufi, Ira, Andi,
Rana.” Eko memanggil tanpa menengok ke arah kami.
“Kalian ingat kemarin
malam aku memberi tebak-tebakan?” kami mengangguk tanpa
sedikitpun suara.
“Tak nampak namun jelas ada. Aku ingin
memberi kalian jawabannya malam ini.” Mendadak keadaan menjadi hening.
“Jawabannya adalah pak
yai.” Eko menyeka air matanya sejenak.
“Sebab kadang beliau
mengajar kita tanpa cahaya ketika minyak tanah habis pada botol-botol lampu,
ketika berhari-hari beliau tak punya uang untuk mengisi minyak tanah kembali
tapi kita masih melihatnya dengan jelas melalui suara ketika mengaji sebab Pak Yai ndak bicara dengan mulut saja tapi dengan hati, sehingga menyentuh hati
kita juga.” Eko menyampaikannya dengan tenang.
“Pak, kalau pak yai ndak
ada? Apa bapak bisa mengajariku mengaji? Pak, apa bapak lebih memilih kekuasaan
sehingga membiarkan aku dan teman-temanku larut dalam kebodohan?” Tak
ada jawaban apapun dari pak Asmir, sedang Eko nampak tersekat tak mampu
berkata-kata lagi sebab air matanya menetes kian deras.
Lalu
pak Asmir mulai bergerak, berjalan maju mendekati puteranya. Tak lagi ada
amarah, sebab beliau memeluknya seraya mengucap maaf. Malam yasinan kali inipun
ditutup dengan Pak Yai yang melepas jabatannya dari kades untuk kemaslahatan
bersama, memilih menjadi setitik cahaya di surau kami yang remang.
Cerpennya kok hampir sama dengan apa yang aku alami masa kecil, ikut yasinan cuma pacitannya aja yang diburu hehe. ada hikmahnya sering ikut jadi hafal.
ReplyDeleteiya pak, memang rahayu menulisnya berdasarkan ngaji sewaktu sewaktu kecil. hehe.. ingatan waktu kecil termasuk hafalan memang sangat membekas.
DeleteMembaca cerpen ini berasa dejavu saat kecil. Dulu belajar mengaji bersama kawan rame-rame pakai obor sebagai pemandu jalan. Terus ngajinya juga pakai lampu teplok..ah kenangan yang penuh makna.
ReplyDeletewah berarti sama ya belum ada listrik ya mbak linda sewaktu ngaji. hoho..
DeleteJadi ingat jaman di kota Bandar Lampung belum semua tersentuh aliran listrik ^_^
ReplyDeletegak kebayang bandar lampung semasa dulu, taunya pas sudah kota seperti skrg :D
DeleteSedikit terganggu dengan beberapa typo, sepeti pak yai sebenarnya Pak Yai. Namun, aku menikmati dialognya loh. Semoga setelah revisi jadi cerpen yang makin enak dibaca.
ReplyDeleteiya bun, terimakasih atas koreksinya. Alhamdulillah sudah rahayu perbaiki :D
DeleteMasyaAllah.., jadi inget Pak Yai ku dulu dikampung. Tak nampak namun jelas ada. bagus cerpennya.
ReplyDeleteterimakasih kak debi. semoga pak yai nya selalu diberikan kesehatan. :)
DeleteWalaupun hanya setitik tegapi mammpu menghilangkan dahaga yang berkepanjangan.
ReplyDelete:)
DeleteTerharu😞uuu bacanyaaaa 😩, jd keinget kyai di rumah, bikin kitab uangnya buat nambahin bangun pager pondok yg kurang ðŸ˜
ReplyDeletesaya juga jadi rindu pak yai saya ketika menulis. semoga pak yai kk selalu diberikan kesehatan ya :)
DeleteAku pribadi gak pernah melalui masa-masa gitu, tapi penasaran juga ketika baca cerita dengan ide ini. Terimakasih, ceritanya mencerahkan :)
ReplyDeletesama-sama kak Desy :) mungkin bisa berbagi cerita masa kecil ngajinya seperti apa kak? hehe
DeleteThanks for sharing,.
ReplyDelete